Jumat, 19 Juni 2015

Kawanan Landak Berduri



Dikisahkan, di sebuah musim dingin yang beku, banyak hewan yang pergi mencari tempat perlindungan yang lebih hangat. Namun, bagi yang tak sempat, terpaksa harus bertahan dengan cuaca yang menusuk tulang.

Ada sekumpulan landak yang terjebak di situasi itu. Segera pemimpin landak memerintah kawanannya. “Teman-teman, mari kita saling berdekatan untuk menghangatkan tubuh dan melindungi diri dari hawa yang sangat dingin ini.”

Gerombolan landak itu pun segera mendekatkan diri satu sama lain.
“Aduh..sakit. Hati-hati teman, durimu menusukku.”
“Ah… kamu yang nggak hati-hati. Durimu juga melukaiku,” sebut landak yang lain.
“Hei..hei.. Ini bukannya jadi hangat! Badanku sakit semua gara-gara kalian,” ujar landak lain, yang kemudian diikuti teriakan landak-landak berikutnya.

Ternyata, ketika harus berimpitan mencari kehangatan, duri-duri mereka malah melukai satu sama lain. Akibatnya, mereka menjadi marah, kesakitan dan saling menyalahkan.
“Ah.. aku nggak mau begini. Ini benar benar menyiksaku” seru seekor landak sambil bergerak keluar dari gerombolan tersebut. Dan tindakan itu pun segera diikuti oleh landak-landak lainnya. Sehingga, bubarlah gerombolan itu.

Begitu keluar dari gerombolannya, secepat itu pula mereka disambut angin dingin nan beku yang sangat menyiksa. Tak lama kemudian, daya tahan mereka pun mulai melemah.  

Pimpinan landak berseru, “Teman-teman.. jika tidak ingin mati kedinginan seperti binatang lain, mau tidak mau, kita harus menahan rasa sakit akibat tertusuk duri satu sama lain. Mari, kita tanggung bersama-sama, asal hati-hati, kita bisa meminimalkan rasa sakitnya. Jika kita bisa menahan rasa sakit, maka kita akan mampu bertahan melawan dingin yang mematikan ini.”

Daripada mati kedinginan, akhirnya mereka memilih bertahan hidup dengan menahan sakit. Perlahan-lahan mereka beringsut mendekat satu sama lain dengan hati-hati. Meski tertusuk duri temannya, mereka saling mengalah dan saling mengerti. Satu sama lain saling mendukung dan tak ada lagi yang menyalahkan. Dan, bersama, akhirnya mereka berhasil melewati musim dingin yang mematikan itu.

Untuk meraih sesuatu yang besar, kadangkala kita memang harus mengorbankan banyak hal. Adanya perbedaan adalah hal yang wajar, tapi kita juga harus tahu kapan harus mengalah dan menurunkan ego demi mencapai tujuan yang lebih utama dan lebih besar. Seperti kisah landak tadi, mereka mau berkorban sakit untuk hal yang lebih mulia. Mari, bersama belajar berkorban demi kepentingan yang lebih besar , saling membantu dan lebih peduli dengan sesama . Dengan cara itu, tujuan bersama yang telah kita inginkan, akan lebih mudah diraih.

Anjing dan Sang Menteri


Alkisah, ada seorang raja yang memiliki 10 anjing ganas untuk menghukum karyawan istana yang bersalah sampai menterinya. Jika sang Raja menilai orangnya bersalah dan tidak berkenan atas kesalahan tersebut, mereka akan dilempar ke kandang anjing agar dicabik dan dimangsa oleh anjing-anjing ganas tersebut.
Suatu hari, seorang menteri membuat sebuah keputusan yang dianggap salah sehingga membuat Raja murka.  “Menteri! Atas kesalahan yang telah kamu perbuat, rajamu memerintahkan hukuman segera dijalankan. Besok, giliranmu masuk ke kandang anjing,” perintah Raja.
Si Menteri dengan wajah pucat berkata, “Paduka, hamba telah mengabdi kepada Paduka dan pekerjaan ini selama 15 tahun. Atas pengabdian hamba selama ini, hamba mohon waktu penundaan hukuman selama 30 hari saja. Setelah 30 hari, hamba akan menghadap dan siap menjalani hukuman.”  Sang Raja, setelah berpikir sejenak, akhirnya mengabulkan permintaan menterinya itu.

Dari sana, si menteri berg
egas menuju kandang anjing dan meminta izin kepada penjaga untuk membantu mengurus anjing-anjingnya selama 30 hari. Walaupun merasa heran, tetapi karena menteri senior yang meminta, dia pun mengizinkannya. Sejak saat itu, si menteri membantu memelihara anjing-anjing, memberi makan, memandikan, membersihkan kandang, dan memberi perhatian dengan sebaik-baiknya. Setelah 30 hari, anjing-anjing itu pun menjadi jinak kepada si menteri.

Tibalah waktu eksekusi. Disaksikan Raja, dimasukkanlah menteri itu ke kandang anjing. Akan tetapi, betapa terkejutnya raja, saat melihat anjing-anjing ganasnya itu justru jinak padanya. Apa yang terjadi? Si menteri pun menjawab merendah, “Paduka, hamba telah ‘mengabdi’ pada anjing-anjing ini selama 30 hari dan mereka tidak melupakan jasaku. Tapi paduka… hamba telah mengabdi kepada kerajaan ini selama 15 tahun, dan paduka tega menjatuhkan hukuman ini pada saya. Mohon ampuni kesalahan saya.” Mendengar perkataan menterinya, baginda raja tersentak kesadarannya. Dengan rasa haru, akhirnya si menteri pun dibebaskan dari hukuman.

Dalam perjalanan kehidupan ini, sesungguhnya tidak terhitung jasa kebaikan yang telah kita terima. Baik dari orang yang tidak kita kenal, maupun terlebih dari orang-orang terdekat kita. Selayaknya kita bisa menghargai dan membalas kebaikan itu. Jangan hanya karena kejadian sesaat yang tidak mengenakkan, kita begitu mudah menghapus persahabatan atau persaudaraan yang telah terukir bertahun-tahun lamanya.

Mari, jadikan setiap kebaikan membuahkan kebaikan, sehingga setiap insan di muka bumi ini hidup dengan rasa aman, damai, dan membahagiakan.

Kisah Harimau dan Hutan



Sudah sekian lama, harimau dan hutan bersahabat. Mereka saling tolong-menolong satu sama lain. Harimau menjaga hutan. Demikian juga hutan  menyediakan hampir semua kebutuhan harimau. Dengan adanya harimau, hutan bebas dari jarahan manusia. Kayu-kayu dari pepohonannya terlindungi oleh harimau yang setiap hari berjaga keliling hutan. Begitu pula hutan, menyediakan makanan yang dibutuhkan oleh harimau sehari-hari. Kehidupan harimau dan hutan berjalan sangat harmonis.
Namun, keharmonisan itu rupanya membuat kijang iri. Sebab, kijang sering kali menjadi hewan yang paling banyak jadi korban karena bangsanya menjadi makanan empuk harimau yang lapar. Karena itu, kijang pun menyusun strategi agar keharmonisan harimau dan hutan jadi terpecah belah.

Maka, suatu kali, kijang pun berbisik pada pohon terbesar yang jadi wakil hutan. Kijang berkata, bahwa harimau sebenarnya adalah hewan yang mau untungnya sendiri. Hutan hanya diperdaya harimau. Sebab, tanpa harimau pun, sebenarnya hutan baik-baik saja.

Kijang juga melakukan hal yang sama pada harimau. Namun, agar tak mencolok, kijang menyuruh monyet untuk membisikkan hasutan pada harimau soal hutan. Maka, monyet pun membisiki harimau, bahwa selama ini harimau hanya dimanfaatkan hutan untuk menjaganya.

Mendengar hasutan itu, harimau dan hutan tiap hari kemudian jadi menjaga jarak satu sama lain. Keakraban yang terjalin harmonis selama ini jadi renggang. Hingga akhirnya, suatu hari harimau dan hutan bertengkar. Pohon pemimpin hutan merasa harimau hanya mau untungnya saja tinggal di hutan tanpa mau membantunya. Sebaliknya, harimau juga merasa, hutan hanya mengambil jasanya menjaga hutan tanpa mau memberikan hasil yang lebih padanya.
Pertengkaran keduanya pun menghebat. Maka, akhirnya harimau berjanji, ia akan keluar dari hutan untuk mencari hutan lain yang mau menampungnya. “Baik, aku akan pergi! Jangan pernah minta bantuanku lagi, hutan yang sombong!”
“Kamu yang sombong, mentang-mentang kuat dan ganas, jadi sok jagoan! Pergi sana, aku tak butuh kamu lagi!” sahut hutan.

Mendengar itu, kijang dan monyet diam-diam bersorak. Mereka sudah pasti akan segera terbebas dari ancaman harimau. Namun rupanya, itu tak berlangsung lama. Selama ini, manusia jarang masuk ke hutan itu karena takut ancaman harimau yang buas. Tetapi, karena harimau pergi dari hutan, manusia pun bebas menjebak harimau hingga berhasil ditangkap. Manusia pun tak takut lagi dengan harimau yang berhasil dikurung. Sejak saat itu pula, manusia mulai menjarah hutan. Kayu ditebangi. Pohon digunduli. Hewan-hewan liar—termasuk kijang dan monyet—ditangkap, ada yang dijual, ada yang dijadikan makanan. Akibat kejadian itu, hutan pun jadi berubah total. Tak ada lagi kicau burung indah, tak ada lagi hewan yang berkeliaran bebas, pohon pun banyak yang tumbang diambili kayunya. Semua menyesal. Akibat sebuah hasutan, hutan, harimau, dan semua isi hutan jadi mendapat imbas yang tak diinginkan.

Sahabat ……………………

Kadang kala kita lupa, pada orang-orang yang langsung dan tidak langsung berjasa pada kita. Padahal sebagai makhluk sosial, kita sejatinya bergantung satu sama lain. Memang, secara kedudukan, ada yang mengatur, ada yang memimpin, ada yang jadi bawahan. Tapi, semua punya peranan masing-masing. Dan, jangan lupa, semua ibarat puzzle, harus saling melengkapi. Tanpa ada satu komponen, kadang kita akan jadi kerepotan untuk meraih harmonisasi hidup.
Karena itu, jangan pernah iri dengan kedudukan orang lain yang lebih tinggi. Jangan pula memandang kedudukan rendah mereka yang ada di bawah. Sebab, harmonisasi antar-semua tersebut saling melengkapi. Ibarat hutan dan harimau, satu sama lain sebenarnya saling melindungi. Pun demikian kijang dan monyet, serta makhluk hidup lain di dalam hutan. Begitu salah satu komponen hilang, begitu mudahnya gangguan dari luar datang.

Inilah yang perlu kita terus ingat dalam setiap peran yang kita jalani di kehidupan. Apa pun peran yang kita miliki saat ini, jangan pernah posisikan diri sebagai “korban”. Tapi, jadikan diri sebagai salah satu komponen penyeimbang. Dengan begitu, kita bisa selalu bijak dalam menentukan pilihan. Dan, jangan lupakan pula soal kepedulian. Saat satu hal yang menjaga harmonisasi menghilang, bisa jadi suatu saat dampaknya akan segera sampai pada kita juga.

Mari, buka mata dan hati. Selalu jaga harmonisasi kehidupan. Apa pun peran yang kita lakoni saat ini, jalani dengan sepenuh hati. Bebaskan diri dari rasa iri dengki. Dengan begitu, kita akan jadi insan penuh arti yang bisa mengisi setiap keping harmonisasi hidup yang berkelimpahan. Sehingga, kebahagiaan sejati pun akan kita dapatkan.

Minggu, 03 Mei 2015

Komunikasi Berdasarkan Golongan Darah O




Oleh Ponijan Liaw
Hasil temuan seorang ilmuwan Jepang, Furukawa Takeji. Beliau adalah orang yang pertama kali meneliti dan menyatakan bahwa golongan darah seseorang akan memengaruhi kepribadian dan karakter orang tesebut secara langsung (baca lengkap di buku saya: Understanding Your Communication Styles - Memahami Gaya Komunikasi Anda). Pada edisi ini, sampailah kita kita pada pembahasan karakter dan gaya komunikasi yang sebaiknya diterapkan jika berhadapan dengan orang bergolongan darah terakhir dalam seri ini, yaitu 'O'.

Karakter Orang Bergolongan Darah 'O'

Orang-orang dengan golongan darah O adalah mereka yang tidak banyak ambil pusing, penuh semangat dan memiliki jiwa sosial yang tinggi. Mereka adalah orang yang paling fleksibel di antara semua golongan darah yang ada. Mereka akan dengan cepat memulai sebuah proyek namun mengalami masalah ketika melanjutkannya dan tidak jarang banyak juga yang dengan mudah menyerah di tengah jalan. Mereka terkadang bertingkah dan tidak terlalu dapat dijadikan sandaran. Mereka selalu mengatakan apa yang ada di pikiran mereka secara langsung. Mereka selalu jujur. Mereka menghargai pendapat orang lain dan suka menjadi pusat perhatian. Selain itu, orang-orang bergolongan darah O ini memiliki rasa percaya diri yang sungguh kuat. Di Jepang, golongan darah ini merupakan golongan darah rata-rata orang di sana.

Gaya Komunikasi dengan Orang Bergolongan Darah O

Ketika berhadapan dengan orang bergolongan darah O yang penuh semangat dan percaya diri, terus terang, optimistis, terkadang egois dan kreatif, hal-hal berikut dapat dijadikan pedoman:
- Berbicaralah dengan semangat dan penuh vitalitas. Karena mereka kurang menyukai orang-orang yang terkesan lemah, letih, lesu, lemas, letoy, dan loyo yang dianggap tidak dapat mengikuti ritme mereka yang penuh dengan energi.
- Jangan gunakan kata-kata negatif dan pesimis karena kelompok kata itu tidak terdapat dalam kamus mereka yang penuh dengan semangat positif dan optimis.
- Ketika mengikat sebuah kontrak, pastikan dengan tegas bahwa mereka komit dengan apa yang telah disepakati dan dapat bertanggung jawab atas penyelesaiannya.
- Berkatalah dengan jujur karena mereka juga demikian adanya. Sekali kebohongan terdeteksi, mereka tidak akan percaya lagi pada lain kesempatan.
- Tunjukkan bahasa tubuh yang penuh keceriaan dan semangat.

Orang dengan golongan darah O paling suka berkomunikasi dengan mereka yang penuh semangat. Orang-orang yang tidak memiliki semangat hidup yang baik sulit menjadi teman dekat orang golongan ini. Karena mereka selalu semangat sejalan dengan vitalitas yang mereka miliki. Mereka akan dapat berkomunikasi berjam-jam dengan orang yang cocok dan dapat mengikuti ritme bicara mereka yang sangat optimistis dan motivatif.












Jumat, 01 Mei 2015

Mempeng (Tekun)


Gelem nangkane, ora gelem pulute yang berarti "Mau nangkanya, tapi tak mau terkena getahnya". Pepatah ini berarti orang cenderung menginginkan hal yang baik-baik saja, tapi kurang mau atau suka menghindar untuk menghadapi konsekuensinya. Ingin sukses, tapi tak mau gagal. Ingin kaya, tapi kurang mau berjuang dengan sungguh-sungguh. Ingin terkenal, tapi berusaha dengan cara instan. Ingin ini dan itu, tapi tak mau menjalani proses dan jalan berliku untuk memperolehnya. Akhirnya, banyak orang yang ujungnya menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.

Padahal sejatinya, justru pada saat sulit, gagal, susah, berliku, turun, bahkan terantuk dan terluka, itulah saat kita sedang ditempa. Di mana, saat "menderita" itulah, kita sedang ditempa menjadi berlian dan permata yang tak ternilai harganya. Hanya mereka yang tahan dalam menghadapi berbagai hadangan ujian dan cobaanlah yang akan mampu mewujudkan impian.

Untuk menggambarkan kekuatan menghadapi berbagai tempaan hidup ini, saya teringat salah satu omongan yang sering saya dengarkan ketika kecil, yakni mempeng yang dalam bahasa Indonesianya, kurang lebih artinya adalah "tekun". Saat kecil, saya sering mendengar nasihat orangtua pada anaknya yang masih sekolah: "Mempengo sinau" atau "Tekunlah belajar". Dan, saat sudah bekerja, banyak pula orang yang menasihati: "Mempengo nyambut gawe" atau "Tekunlah bekerja". Sepertinya sederhana dan mudah dilakukan. Tapi, mempeng sebenarnya mempunyai kekuatan yang luar biasa untuk menjadikan kita sebagai "permata-permata mahal kehidupan".


Dalam unsur mempeng, kita mendapati ketahanan dalam berfokus pada tujuan, kemampuan untuk menahan segala godaan yang melenakan, hingga kemauan sangat kuat untuk mewujudkan segala harapan. Ibarat kisah legenda Thomas Alva Edison yang menemukan bola lampu pijar setelah (konon) mengalami 9.999 kali kegagalan. Dengan ke-mempeng-an, kita akan memiliki daya tahan dan mentalitas prima yang takkan goyah oleh berbagai cobaan. Jika Edison bisa bertahan hingga ribuan kali kegagalan, pertanyaannya adalah, berapa kali kita mampu bangkit dari kegagalan? Mempeng bisa menjadi "solusi" yang menunjukkan seberapa kuat kita saat mengalami masa-masa sulit.

Apa pun pilihan hidup yang ada di hadapan kita, mari kita coba untuk terus mempeng memaksimalkan apa yang kita bisa. Mempeng pada bidang yang kita kuasai, mempeng pada profesi yang kita lakoni. Dan jangan lupa, selipkan cinta pada pekerjaan apa pun yang sedang kita jalani. Sehingga, kekuatan mempeng akan jadi kekuatan pembeda.

Mari mempeng dalam hidup ini. Niscaya, pintu-pintu sukses akan selalu siap terbuka untuk kita.


Rabu, 29 April 2015

Kepedulian


Oleh : Andrie Wongso 

Pada suatu hari di sebuah sekolah, dalam sebulan minimal sekali, pasti diadakan pemeriksaan tas para siswa. Pihak sekolah menertibkan dan merazia barang-barang yang dianggap tidak mendukung kelancaran belajar mengajar di sekolah.

Semua ruangan kelas, tanpa terkecuali diperiksa satu persatu. Saat tim pemeriksa masuk ke dalam kelas terakhir, tiba-tiba ada seorang siswi yang tampak gelisah. Tangannya berkeringat dan wajahnya pun memerah. Padahal di kelas dia dikenal sebagai siswi yang rajin, baik, cerdas, walaupun sedikit pendiam dan terkesan pemalu. 

Siswi itu, tidak seperti biasanya, membawa tas yang ukurannya cukup besar. Ia mati-matian menjaga tasnya sambil memohon dengan terisak dan suara memelas, “Tolong, Pak, Bu. Jangan buka tas saya. Di dalam tidak ada benda yang melanggar peraturan. Sumpah. Please...” Dan seketika, hebohlah kelas itu. Mereka saling berpandangan sambil curiga, pasti ada sesuatu yang rahasia di balik tas itu. 

Menanggapi situasi tersebut, siswi itu pun dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Dengan kepala tertunduk dan tas di pelukan, ia pun digelandang keluar kelas.  

Bersama semua tim pemeriksa, mereka ke ruang kepala sekolah. Setelah mendengarkan laporan dari tim pemeriksa, dengan lemah lembut kepala sekolah berkata, “Anakku, sebenarnya apa isi tas itu? Ibu tidak memaksa, hanya ingin kejujuranmu." Wajah cantik itu kembali memerah.

Dengan diam dan perlahan, siswi itu membuka dan mengeluarkan isi tasnya. Selain perlengkapan sekolah, tampak kue-kue kecil terbungkus rapi di dalam suatu kotak. “Maafkan saya Bu. Saya bukannya ingin membangkang perintah dengan tidak membuka tas, tetapi saya tidak berani menanggung malu di depan teman-teman sekelas. Kebetulan ini hari pertama saya berjualan kue, sepulang sekolah nanti, untuk membantu ekonomi keluarga. Ayah kami sedang sakit....” ujar remaja putri itu dengan nada lirih dan berlinang air mata.

Seisi ruangan itu tercekat. Mereka menyesali,  justru di lingkungan terdekat mereka, ada siswa yang berada dalam kondisi memerlukan bantuan, namun mereka tidak mengetahui apalagi membantunya.

“Nak, tidak perlu merasa malu untuk hal ini... justru kamu bisa menjadi teladan karena niat, usaha, dan kepedulianmu untuk membantu keluarga. Maafkan Ibu dan sekolah karena baru menyadari kondisimu ini,” ujar Ibu Kepala Sekolah.


Sesungguhnya, peduli dan niat untuk memberi, bukan karena kita telah kaya, punya harta berlebih, baru bisa peduli dan membantu orang lain.

Peduli dan memberi, terutama kepada orang-orang di sekeliling kita adalah sikap terpuji yang mendekatkan jarak antar manusia.Tak peduli seberapa kadarnya, entah banyak atau sedikit, kepedulian akan membawa dampak kebaikan pada lingkungan dan akan membukakan lebih banyak pintu sukses bagi si pemberi.  

Mari, lebih peduli!

Keuletan Luar Biasa




Pada suatu ketika, di sebuah gunung batu, ada seorang lelaki yang ingin memecah batu-batu besar menjadi batu kecil untuk dijual, guna menghidupi keluarga. Lelaki tersebut adalah seorang bertubuh tegap dan tampak perkasa. Berbekal alat pemecah batu, ia mengerahkan segenap tenaganya untuk memecah batu besar.

Suara pukulan pada batu memecah keheningan. Lelaki itu bekerja dengan penuh bersemangat. Satu kali, dua kali, lima kali, sepuluh kali. Batu besar itu belum pecah. Ia memukul kembali. Dua puluh kali. Tiga puluh kali. Batu masih tetap utuh. Ia kembali memukul dengan keras. Empat puluh kali. Lima puluh kali. Batu belum juga pecah. Kali ini, ia memukul dengan lebih keras lagi. Sejenak napasnya terengah-engah. Ia heran, mengapa batu itu belum pecah juga. Padahal, ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya.

Kembali, rasa penasaran membuat ia nekat. Enam puluh, tujuh puluh, delapan puluh kali, sembilan puluh kali. Batu itu seperti hanya tergores oleh si pemecah batu. Akhirnya, ia pun bersandar di batu tersebut. Napasnya kembali turun naik. Tubuhnya basah oleh keringat. Semangat yang tadinya menyala-nyala, hilang entah ke mana. Ia mengeluh, “Mengapa batu ini begitu keras? Apa ini memang bukan rezeki saya?”

Di tengah keputusasaannya, tiba-tiba datang seorang lelaki tua kurus berbaju putih menghampirinya. Ia tampak seperti seorang bijak.

“Anak muda. Boleh saya bantu memecahkan batu itu?” tanyanya.

Si pemecah batu berpikir, kalau dia yang lebih muda dan gagah saja gagal memecah batu, bagaimana mungkin si orang tua bisa melakukannya. "Silakan saja,” katanya ragu.

Orang tua lalu mengayunkan alat pemecah batu dan mulai memukul batu yang belum pecah tersebut. Sekali, dua kali, tiga kali, hingga kali sepuluh pukulan diayunkan, batu itu akhirnya pecah juga.

Lelaki pemecah batu itu takjub. “Luar biasa, apakah Anda mempunyai ilmu khusus?” ujarnya penuh kekaguman. “Ajari saya!”

"Aku tidak mempunyai ilmu apa pun. Aku sama seperti dirimu,” jawab si orang tua merendah. Ia melanjutkan, “Kamu mungkin belum paham, batu ini sudah hampir pecah. Jadi, hanya butuh beberapa kali tambahan pukulan, hingga retakan di dalam batu yang tidak terlihat akan segera membuat batu itu pecah secara keseluruhan,” jawab si orang tua. “Sekarang kamu sudah tahu keadaan sebenarnya. Selama kamu masih mempunyai keuletan untuk tetap memukul, yakin, batu itu pasti akan pecah. Maka kelak kamu jangan mudah menyerah!”

Sebagaimana kisah yang saya ceritakan tadi, dalam kehidupan ini seringkali kita tidak sabar pada “detik-detik” akhir dalam perjuangan yang kita lalui. Bisa jadi ujung perjuangan itu sudah dekat di mata kita. Tapi, karena ketidaksabaran, karena kurangnya keuletan, kita sering berhenti di tengah jalan, dan akhirnya kita tidak mencapai apa yang kita inginkan. Yang namanya Proses, memang tidak bisa ditentukan seberapa lama. Maka yang menjadi fokus kita seharusnya adalah “mencoba” dan “terus mencoba”. Ulet, dan tetap ulet!

Mari, buka pikiran, lapangkan hati, mantapkan langkah, tingkatkan kesabaran & keuletan, perkuat perjuangan. Maka kita akan jadi sang pemenang sejati dalam setiap perjuangan, dalam meraih apa yang kita cita-citakan.