Rabu, 29 April 2015

Kepedulian


Oleh : Andrie Wongso 

Pada suatu hari di sebuah sekolah, dalam sebulan minimal sekali, pasti diadakan pemeriksaan tas para siswa. Pihak sekolah menertibkan dan merazia barang-barang yang dianggap tidak mendukung kelancaran belajar mengajar di sekolah.

Semua ruangan kelas, tanpa terkecuali diperiksa satu persatu. Saat tim pemeriksa masuk ke dalam kelas terakhir, tiba-tiba ada seorang siswi yang tampak gelisah. Tangannya berkeringat dan wajahnya pun memerah. Padahal di kelas dia dikenal sebagai siswi yang rajin, baik, cerdas, walaupun sedikit pendiam dan terkesan pemalu. 

Siswi itu, tidak seperti biasanya, membawa tas yang ukurannya cukup besar. Ia mati-matian menjaga tasnya sambil memohon dengan terisak dan suara memelas, “Tolong, Pak, Bu. Jangan buka tas saya. Di dalam tidak ada benda yang melanggar peraturan. Sumpah. Please...” Dan seketika, hebohlah kelas itu. Mereka saling berpandangan sambil curiga, pasti ada sesuatu yang rahasia di balik tas itu. 

Menanggapi situasi tersebut, siswi itu pun dipanggil ke ruangan kepala sekolah. Dengan kepala tertunduk dan tas di pelukan, ia pun digelandang keluar kelas.  

Bersama semua tim pemeriksa, mereka ke ruang kepala sekolah. Setelah mendengarkan laporan dari tim pemeriksa, dengan lemah lembut kepala sekolah berkata, “Anakku, sebenarnya apa isi tas itu? Ibu tidak memaksa, hanya ingin kejujuranmu." Wajah cantik itu kembali memerah.

Dengan diam dan perlahan, siswi itu membuka dan mengeluarkan isi tasnya. Selain perlengkapan sekolah, tampak kue-kue kecil terbungkus rapi di dalam suatu kotak. “Maafkan saya Bu. Saya bukannya ingin membangkang perintah dengan tidak membuka tas, tetapi saya tidak berani menanggung malu di depan teman-teman sekelas. Kebetulan ini hari pertama saya berjualan kue, sepulang sekolah nanti, untuk membantu ekonomi keluarga. Ayah kami sedang sakit....” ujar remaja putri itu dengan nada lirih dan berlinang air mata.

Seisi ruangan itu tercekat. Mereka menyesali,  justru di lingkungan terdekat mereka, ada siswa yang berada dalam kondisi memerlukan bantuan, namun mereka tidak mengetahui apalagi membantunya.

“Nak, tidak perlu merasa malu untuk hal ini... justru kamu bisa menjadi teladan karena niat, usaha, dan kepedulianmu untuk membantu keluarga. Maafkan Ibu dan sekolah karena baru menyadari kondisimu ini,” ujar Ibu Kepala Sekolah.


Sesungguhnya, peduli dan niat untuk memberi, bukan karena kita telah kaya, punya harta berlebih, baru bisa peduli dan membantu orang lain.

Peduli dan memberi, terutama kepada orang-orang di sekeliling kita adalah sikap terpuji yang mendekatkan jarak antar manusia.Tak peduli seberapa kadarnya, entah banyak atau sedikit, kepedulian akan membawa dampak kebaikan pada lingkungan dan akan membukakan lebih banyak pintu sukses bagi si pemberi.  

Mari, lebih peduli!

Keuletan Luar Biasa




Pada suatu ketika, di sebuah gunung batu, ada seorang lelaki yang ingin memecah batu-batu besar menjadi batu kecil untuk dijual, guna menghidupi keluarga. Lelaki tersebut adalah seorang bertubuh tegap dan tampak perkasa. Berbekal alat pemecah batu, ia mengerahkan segenap tenaganya untuk memecah batu besar.

Suara pukulan pada batu memecah keheningan. Lelaki itu bekerja dengan penuh bersemangat. Satu kali, dua kali, lima kali, sepuluh kali. Batu besar itu belum pecah. Ia memukul kembali. Dua puluh kali. Tiga puluh kali. Batu masih tetap utuh. Ia kembali memukul dengan keras. Empat puluh kali. Lima puluh kali. Batu belum juga pecah. Kali ini, ia memukul dengan lebih keras lagi. Sejenak napasnya terengah-engah. Ia heran, mengapa batu itu belum pecah juga. Padahal, ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya.

Kembali, rasa penasaran membuat ia nekat. Enam puluh, tujuh puluh, delapan puluh kali, sembilan puluh kali. Batu itu seperti hanya tergores oleh si pemecah batu. Akhirnya, ia pun bersandar di batu tersebut. Napasnya kembali turun naik. Tubuhnya basah oleh keringat. Semangat yang tadinya menyala-nyala, hilang entah ke mana. Ia mengeluh, “Mengapa batu ini begitu keras? Apa ini memang bukan rezeki saya?”

Di tengah keputusasaannya, tiba-tiba datang seorang lelaki tua kurus berbaju putih menghampirinya. Ia tampak seperti seorang bijak.

“Anak muda. Boleh saya bantu memecahkan batu itu?” tanyanya.

Si pemecah batu berpikir, kalau dia yang lebih muda dan gagah saja gagal memecah batu, bagaimana mungkin si orang tua bisa melakukannya. "Silakan saja,” katanya ragu.

Orang tua lalu mengayunkan alat pemecah batu dan mulai memukul batu yang belum pecah tersebut. Sekali, dua kali, tiga kali, hingga kali sepuluh pukulan diayunkan, batu itu akhirnya pecah juga.

Lelaki pemecah batu itu takjub. “Luar biasa, apakah Anda mempunyai ilmu khusus?” ujarnya penuh kekaguman. “Ajari saya!”

"Aku tidak mempunyai ilmu apa pun. Aku sama seperti dirimu,” jawab si orang tua merendah. Ia melanjutkan, “Kamu mungkin belum paham, batu ini sudah hampir pecah. Jadi, hanya butuh beberapa kali tambahan pukulan, hingga retakan di dalam batu yang tidak terlihat akan segera membuat batu itu pecah secara keseluruhan,” jawab si orang tua. “Sekarang kamu sudah tahu keadaan sebenarnya. Selama kamu masih mempunyai keuletan untuk tetap memukul, yakin, batu itu pasti akan pecah. Maka kelak kamu jangan mudah menyerah!”

Sebagaimana kisah yang saya ceritakan tadi, dalam kehidupan ini seringkali kita tidak sabar pada “detik-detik” akhir dalam perjuangan yang kita lalui. Bisa jadi ujung perjuangan itu sudah dekat di mata kita. Tapi, karena ketidaksabaran, karena kurangnya keuletan, kita sering berhenti di tengah jalan, dan akhirnya kita tidak mencapai apa yang kita inginkan. Yang namanya Proses, memang tidak bisa ditentukan seberapa lama. Maka yang menjadi fokus kita seharusnya adalah “mencoba” dan “terus mencoba”. Ulet, dan tetap ulet!

Mari, buka pikiran, lapangkan hati, mantapkan langkah, tingkatkan kesabaran & keuletan, perkuat perjuangan. Maka kita akan jadi sang pemenang sejati dalam setiap perjuangan, dalam meraih apa yang kita cita-citakan.

Selasa, 21 April 2015

Anggek dan Pohon Di Hutan


oleh : Andrie Wongso 

Di sebuah hutan, terdapat sebuah bunga anggrek yang tumbuhnya menempel pangkal batang sebuah pohon besar. Anggrek sangat nyaman bersama sang pohon karena selain bisa mendapat makanan yang cukup, ia juga terlindung dari teriknya sinar matahari dan derasnya air hujan yang mengguyur.

Namun, suatu kali, bencana besar datang. Angin bertiup kencang saat itu, disertai hujan sangat lebat. Tiba-tiba petir menyambar. ”Blaaarr!!” dengan kerasnya, tepat di di pohon besar tempat anggrek bernaung.

Batang yang tadinya besar dan kokoh, kini patah beberapa bagian. Pohon yang tadinya jadi rumah si anggrek, telah hancur, hampir berantakan.

Anggrek menangis sejadi-jadinya, ketakutan akan masa depannya. “Pohon… kamu selama ini yang melindungi aku dari panas dan hujan. Kenapa kamu jadi begini? Kamu juga baik mengizinkan aku mengambil sebagian makanan dari batangmu. Sekarang…Kamu sendiri hanya tersisa beberapa daun hijau di sebagian sisa batangmu. Siapa lagi yang akan melindungiku?”

Pohon yang tersisa, melihat anggrek terus menangis, menyapa sahabatnya itu. “Wahai anggrek. Jangan menangis. Aku pun mengalami kejadian yang sangat menyulitkan. Tapi, aku bersyukur bisa tetap hidup meski hanya dengan sedikit sisa daun di batangku ini. Aku yakin, dengan sisa ini, aku akan tetap bisa kembali tumbuh, meski tak sesempurna dulu lagi. Begitu juga kamu. Lihatlah, kilau mentari pagi yang kini langsung mengenaimu. Kamu tampak semakin indah, ditambah embun yang menempel di tubuhmu. Panas mentari dan hujan yang langsung mengenaimu, pasti akan membuatmu semakin subur, cantik dan berbunga lebih banyak. Tentunya akan makin banyak yang mengagumi keindahanmu.”

Anggrek tersentak dengan ucapan pohon sahabatnya itu. Ia kini sadar. Ujian semalam ternyata malah membuka hal lain yang tak pernah terpikirkan selama ini. Anggrek yang indah, ternyata jauh lebih indah saat terkena pancaran mentari langsung. Air yang mengenainya langsung, juga membuat anggrek tumbuh lebih subur.


Sahabat ……………..

Sama dengan kita yang sering terlena di zona nyaman, kadang tidak lagi merasa harus belajar dan memperbaiki diri. Makin nyaman seseorang, ia tak mau lagi beranjak pergi.

Padahal, di luar sana, kadang tersedia peluang yang jauh lebih indah, lebih menyenangkan, lebih menghasilkan, banyak yang masih bisa digali. Hal itulah yang kadang-kadang membuat seseorang menjadi berhenti, melambat, dan malah akhirnya kemudian terlibas oleh kemajuan zaman atau perubahan yang terjadi.

Peristiwa yang disebut musibah atau bencana sering diperlukan hadir untuk mengingatkan kita agar mawas diri dan mulai belajar lagi. Pada saat awal kejadian, sangat wajar kita mungkin “menangis” seperti sang anggrek. Namun perlu kita yakini, bahwa itu semua datang untuk membawa kita jadi lebih baik dan lebih baik lagi.

Mari, terus bersiap diri. Evaluasi setiap hari, lakukan pembelajaran tiada henti. Tidak takut ancaman dan cobaan yang bisa datang setiap saat. Sebab seringkali di sanalah pertumbuhan mental sedang terjadi untuk menyongsong sukses yang akan kita raih.

Senin, 20 April 2015

Mengapa Harus Membenci ?


Suatu malam, dengan bersungut-sungut Adi curhat ke ayahnya, “Ayah, temanku sungguh keterlaluan. Dia menghina dan mempermalukan aku di depan teman-teman. Aku sungguh marah dan benciiii… temanku itu.”

Setelah mengetahui cerita lengkapnya, sang ayah menasihati, “Sudahlah Di, ajak temanmu itu bicara baik-baik, agar tidak terjadi salah paham lagi. Jangan membenci tapi cobalah mengerti dan memaafkan dia.”

“Tidak bisa dong, Yah. Dia begitu jahat! Keenakan kalau aku berhenti membenci, serta memaafkan dia.” Dengan sengit Adi menyanggah nasihat ayahnya.

“Ya sudah, sekarang tidur deh. Besok pagi ada yang harus kita kerjakan.”

Pagi hari, ayah sudah menyiapkan sekarung kerikil yang digantung di pintu pagar belakang. “Adi. Anggap karung ini sebagai temanmu. Pusatkan kebencianmu pada kepalan tanganmu. Tinju sekeras-kerasnya dan sebanyak mungkin karung ini.”

Si Adi pun bersiap-siap. Akan tetapi, hanya tiga kali pukulan, dia merasa kesakitan.

“Aduuh….sakit, Yah,” teriak Adi sambil mengusap dan meniup kepalan tangannya yang mulai memar dan lecet.

“Kalau karung ini sama dengan teman yang kamu benci, apa dia merasa sakit seperti kamu sekarang?”

“Ya enggak lah, Yah.”

“Sama seperti yang terjadi padamu. Kebencianmu hanya menyakiti hatimu sendiri. Karena kalau teman itu kamu pukul pun, dia hanya sakit secara fisik. Itu akan cepat disembuhkan. Sedangkan kebencian dalam hatimu tidak akan berkurang, malah semakin besar menguasai hatimu. Sungguh menderita orang yang dipenuhi dengan kebencian. Apakah kamu mengerti?”


Kebencian adalah sumber penderitaan, ketidakbahagiaan dan penyakit mental bagi siapa saja yang memeliharanya. Karena saat kita membenci, sesungguhnya orang yang kita benci tidak merasakan apa-pun. Tetapi kebencian itu telah mampu menggerogoti kebahagiaan dan kedamaian kita.

Demi ketenangan, kedamaian, dan kebahagaiaan.. cobalah berdamai dengan diri sendiri dan buang semua rasa benci di dalam hati.  Niscaya hidup kita akan jauh lebih tenang, damai, dan bahagia.


Menikmati Hidup


Seorang dosen memberikan kuliah tentang manajemen stres. Ia mengangkat sebuah gelas berisikan air dan bertanya pada mahasiswanya, ”Menurut kalian, berapa berat air dalam gelas ini?”

Setiap mahasiswa menyebutkan angka yang berbeda-beda.

Lalu sang dosen berkata lagi, ”Berapa berat yang pasti tidaklah penting. Karena hal itu bergantung pada berapa lama kita memegangnya. Jika saya memegangnya selama semenit, tidak masalah. Kalau saya memegangnya selama satu jam, lengan kanan saya akan kram. Dan jika saya memegangnya seharian, mungkin saya harus dibawa ke rumah sakit. Padahal beratnya sama saja, tapi semakin lama kita memegangnya, gelas air itu akan terasa semakin berat.

”Begitu pula dalam hidup ini. Jika kita menanggung beban-beban hidup (bisa berupa kekecewaan, kegagalan, kekalahan, kesedihan, dukacita, dll) sepanjang waktu, cepat atau lambat, kita tidak akan mampu bertahan. Karena beban itu lama-kelamaan akan makin terasa berat. Karena itu, yang perlu kita lakukan adalah menaruh gelasnya, beristirahat sebentar sebelum kembali memegangnya.”

Sama halnya dengan gelas air tersebut, kita perlu meletakkan beban-beban hidup kita pada waktu-waktu tertentu, sehingga kita bisa merasa segar lagi dan mampu mengangkat beban itu kembali.

Jadi, sebelum kita pulang ke rumah dari pekerjaan atau segala aktivitas kita selama seharian penuh, letakkan sejenak beban kerja dan hidup kita. Jangan membawa beban itu ke dalam rumah. Tinggalkan itu di luar rumah. Esok pagi, saat tubuh kita sudah terasa segar kembali, kita bisa mengambil beban itu lagi.

Cobalah untuk beristirahat dan bersantai. Nikmatilah hidup ini! Karena pada akhirnya yang paling penting adalah seberapa baik kita menjalani hidup, mencintai, dan belajar untuk melepaskan beban dalam hidup.

Menyerah Terlalu Cepat



Alkisah, ada seorang pelukis terkenal di sebuah negeri. Suatu hari dia kedatangan seorang tamu pria yang sudah lanjut usianya. Orangtua itu membawa beberapa sketsa yang ingin diperlihatkan kepada pelukis besar tersebut untuk meminta pendapat dan penilaian apakah sketsa itu bernilai, atau setidak-tidaknya menyatakan seberapa besar bakat potensial dari pembuatnya.

Sekilas, dilihatnya sketsa berbagai bentuk dan jenis hewan di hadapannya. Karena keahliannya, dalam waktu sekejap saja, pelukis besar itu sudah dapat menilai apakah sketsa atau lukisan kasar itu memiliki nilai artistik atau sebaliknya tidak berharga sama sekali. Dengan tutur sapa yang lembut dan halus, si pelukis ternama menyampaikan bahwa sketsa yang diperlihatkan tamunya itu kurang begitu berharga dan kurang memperlihatkan bakat seni. Tak lupa, sang seniman meminta maaf atas pendapatnya yang mungkin menyakiti tamunya. Akan tetapi dalam hal ini, dia tidak bisa membohongi kenyataan dan pendapatnya.

Orang tua itu tertunduk lesu dan tampak kecewa. Kemudian dia mengeluarkan map yang lain, sambil memohon agar si pelukis mau melihat beberapa sketsa dan lukisan lain yang dibawanya, yang merupakan karya seorang pemuda dari suatu sanggar seni rupa. Kali ini, si pelukis besar melihat berbagai jenis sketsa dan juga pemandangan.

Setelah memperhatikan dengan lebih seksama beberapa lukisan berikutnya, si pelukis tampak sangat tertarik dengan bakat seni yang terlihat di lukisan itu, “Ini.. Oh ini bagus sekali! Sangat detail dan memiliki sudut pandang yang unik. Anak muda ini memiliki bakat besar. Ia harus dibantu dan didorong dalam kariernya sebagai seorang pelukis. Dia memiliki masa depan yang cerah jika dia tekun melatih kemampuan dan tekniknya ini, serta setia pada apa yang menjadi cita-citanya sebagai seorang pelukis.”

Mendengar komentar itu, bapak tua tersenyum gembira, “Terima kasih atas penilaian dan penghargaan Anda.”

“Siapa gerangan pelukis muda yang berbakat ini?” tanya si pelukis “Apakah dia putra bapak?”

“Bukan,” jawab si bapak dengan muka dan nada suara sedih. “Lukisan yang terakhir Anda lihat itu adalah coretan tanganku dua puluh tahun silam. Jika saja aku bisa mendengar komentar positif Anda pada saat itu…. Sayangnya, aku berkecil hati, kurang percaya diri dan berhenti terlalu cepat dalam menekuni aliran seni lukis itu.”

Lalu dia melanjutkan, “Yah, setidaknya aku telah mendapat satu pelajaran di kehidupan ini, jangan cepat menyerah apalagi saat mendengarkan komentar negatif dari orang lain. Selagi kita mau belajar, perubahan dan kemajuan bisa kita dapatkan. Terima kasih atas pertemuan ini.” Dan mereka pun berpisah..

Netter yang Luar Biasa,

Dalam kehidupan, kita sering diombang-ambingkan oleh pendapat orang lain sehingga sering mengubah apa yang kita jalani dan yakini. Padahal semua hasil kesuksesan membutuhkan kepercayaan diri dalam proses perjuangan. Maka sangat dibutuhkan keyakinan, kepercayaan diri dan berprinsip dalam menjalankan apa yang sudah kita kerjakan.

Minggu, 19 April 2015

The Gift


Menjelang hari raya, seorang ayah membeli beberapa gulung kertas kado. Putrinya yang masih kecil, masih balita, meminta satu gulung. "Untuk apa?" tanya sang ayah.
"Untuk kado, mau kasih hadiah." jawab si kecil. "Jangan dibuang-buang ya." pesan si ayah, sambil memberikan satu gulungan kecil. Persis pada hari raya, pagi-pagi si kecil sudah bangun dan membangunkan ayahnya, " Yaah , ada hadiah untuk ayah" Sang ayah yang masih malas-malasan, matanya pun belum melek, menjawab, "Sudahlah nanti saja."
Tetapi si kecil pantang menyerah, "yaah yaah bangun yaah , sudah siang." "Ah, kamu gimana sih, pagi-pagi sudah bangunin Ayah." Ia mengenali kertas kado yang pernah ia berikan kepada anaknya. "Hadiah apa nih?" "Hadiah hari raya untuk ayah . Buka dong yah, buka sekarang." Dan sang ayah pun membuka bingkisan itu. Ternyata di dalamnya hanya sebuah kotak kosong. Tidak berisi apa pun juga. "Ah, kamu bisa saja. Bingkisannya kok kosong. Buang-buang kertas kado ayah . Kan mahal?" Si kecil menjawab, "Nggak yah, nggak kosong. Tadi, Putri masukin begitu buaanyaak ciuman untuk ayah." Sang ayah terharu, ia mengangkat anaknya. Dipeluknya, diciumnya. "Putri, auah belum pernah menerima hadiah seindah ini. ayah akan selalu menyimpan boks ini. ayah akan bawa ke kantor dan sekali-sekali kalau perlu ciuman Putri, ayah akan mengambil satu. Nanti kalau kosong diisi lagi ya !" ~~~

Sahabatku, kotak kosong yang sesaat sebelumnya dianggap tidak berisi, tidak memiliki nilai apa pun, tiba-tiba terisi, tiba-tiba memiliki nilai yang begitu tinggi. Apa yang terjadi ? Lalu, kendati kotak itu memiliki nilai yang sangat tinggi di mata sang ayah, di mata orang lain tetap juga tidak memiliki nilai apa pun. Orang lain akan tetap menganggapnya kotak kosong. Kosong bagi seseorang bisa dianggap penuh oleh orang lain. Sebaliknya, penuh bagi seseorang bisa dianggap kosong oleh orang lain. Kosong dan penuh - dua-duanya merupakan produk dari "pikiran" kita sendiri. Sebagaimana kita memandangi hidup, demikianlah kehidupan kita. Hidup menjadi berarti, bermakna, karena kita memberikan arti kepadanya, memberikan makna kepadanya. Bagi mereka yang tidak memberikan makna, tidak memberikan arti, hidup ini ibarat lembaran kertas yang kosong......
 Jangan memandang kehidupan ini dengan pesimis ... berikanlah arti dan makna untuk menjadikan hidup yang lebih baik ... Lihatlah.... dengarlah.... Rasakanlah....sungguh amat besar nikmat Allah yang telah diberikan kepada kita.... Bersyukurlah.....!

Bibit Yang Tidak Bisa Bertunas


Alkisah, di sebuah kerajaan. Karena raja tidak memiliki putra penerus, maka raja menganggap perlu mencari dan memilih calon penggantinya. Untuk itu, dibuatlah sayembara pemilihan ke seluruh negeri, agar diseleksi per daerah hingga ujian terakhir yang akan ditentukan oleh baginda raja sendiri.

Babak akhir, tersisa delapan orang yang memiliki kepandaian setara dan lulus seleksi. Di ibu kota kerajaan, mereka harus menjalani proses tes terakhir oleh sang raja. Raja dengan seksama menyeleksi mereka satu persatu. Di hadapan mereka raja berpesan, "Anak-anakku. Tugas sebagai abdi negara bukanlah hal yang mudah. Itu adalah amanah yang harus diemban dengan tanggung jawab penuh. Kalian berdelapan terpilih sebagai calon yang terbaik. Nah, sebagai tes terakhir, ini kuberi tiap orang 5 butir biji bibit tanaman. Tanam dan rawatlah seperti engkau nantinya harus memelihara kerajaan dan rakyat negeri ini. Pulanglah dan datanglah 2 minggu kemudian kemari beserta hasil tanaman yang kalian bawa pulang ini."
Dua minggu kemudian, di hadapan raja, 7 pemuda dengan bangga memperlihatkan tanaman yang mulai tumbuh bertunas. Tiba giliran pemuda yang ke-8, dengan wajah malu dan kepala tertunduk, ia melihat ke arah pot yang dibawanya dan berkata, "Ampun baginda, maafkan hamba. Biji yang baginda berikan telah saya tanam, saya rawat dengan hati-hati, tetapi hingga hari ini bibit ini tidak mau tumbuh seperti yang diharapkan. Saya telah gagal menjalankan perintah baginda! Saya tidak mengerti dimana kesalahan saya, tetapi setidaknya saya telah berupaya maksimal. Saya serahkan semua keputusan di tangan baginda."
Terlihat senyum penuh kepuasan kemudian disusul tawa terbahak-bahak sang baginda. "Hahaha...!" Semua yang hadir disitu saling berpandangan heran melihat reaksi raja seperti itu.

Lalu, Raja menepuk pundak si pemuda, dan berkata, "Terima kasih anak muda. Baginda senang dan puas. Ternyata harapanku tidak sia-sia. Masih ada pemuda calon pemimpin bangsa di antara seluruh rakyat negeri ini!"

Sambil berpaling kepada semuanya, raja melanjutkan," Dengar baik-baik. Pemuda ini telah memenuhi harapan terakhirku. Dia pemuda yang jujur, calon pemimpin kerajaan ini di masa depan. Memang tanamannya tidak tumbuh, sepertinya dia gagal! Tetapi sebenarnya, biji yang aku berikan kepada semua peserta telah aku rebus terlebih dahulu, jadi ..ya pasti tidak mungkin bisa tumbuh tunas walaupun dirawat sebaik apapun, karena biji itu telah mati. Aku kecewa sekali saat melihat tumbuhnya tunas yang dibawa anak-anak muda ini. Hai...kalian 7 pemuda, tidak jujur! Kalian pantas dihukum karena berani menipu baginda!"

Segera ketujuh pemuda itu berlutut memohon ampun, namun baginda raja langsung memerintahkan untuk menangkap dan menghukum berat ketujuh pemuda itu. Sungguh tragis, ambisi mereka untuk meraih jabatan tersandung karena ketidakjujuran .
Kejujuran adalah mutiara pribadi yang harus kita miliki dan pelihara dengan baik! Kejujuran adalah "mata uang" yang berlaku di mana-mana. Walaupun kita hidup tidak berkelimpahan harta, namun dengan kejujuran, hidup kita akan bebas dari perasaan waswas, takut, dan cemas. Sehingga, kita akan menikmati kehidupan ini dengan tentram, damai, dan bahagia.

Potensi Terpendam


Alkisah ada seorang pianis di sebuah kafe. Permainan pianonya sangat bagus. Para pengunjung kafe itu rata-rata datang ke sana hanya untuk mendengarkan pemain ini memainkan jari-jemarinya di atas tuts-tuts piano. Tapi suatu malam, seorang pelanggan meminta sang pianis menyanyi.

Sang pianis menjawab, "Saya tidak menyanyi, Pak."

Tapi, pelanggan itu bersikeras. Ia pun berkata pada bartender yang sedang bertugas di sana, "Saya bosan mendengarkan dentingan piano. Saya ingin dia menyanyi!"

Si bartender berteriak ke arah panggung, "Hei Bung! Kalau mau dibayar, nyanyikan satu lagu. Pelanggan minta kau nyanyi!"

Karena merasa sudah terdesak, sang pianis pun memenuhi permintaan si pelanggan. Seorang pianis yang selama ini tidak pernah menyanyi di depan umum menyenandungkan lagu untuk pertama kalinya. Dan ternyata hasilnya sungguh di luar dugaan! Tidak ada orang yang pernah mendengar lagu jazz klasik seperti Sweet Lorraine dinyanyikan seperti malam itu oleh Nat King Cole (1940).

Sang pianis ternyata punya bakat terpendam. Ia bisa saja menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang pianis tanpa nama di sebuah kafe, yang juga tidak terkenal. Tapi karena ia diharuskan menyanyi, ia akhirnya bisa menjadi salah satu entertainer terkenal di Amerika bahkan dunia.

Mungkin di antara kita ada yang masih meragukan kemampuan yang dimilikinya. Mereka merasa dirinya tak memiliki suatu keterampilan atau kebisaan yang istimewa, lalu perasaan ini berkembang menjadi minder. Sebelum menjadi berlarut-larut, sadari bahwa sesungguhnya kita mempunyai keterampilan dan kemampuan. Tapi yang sering kali terjadi adalah kita tidak menyadari hal itu, seperti halnya sang pianis dalam kisah di atas.

Karena itu, pertanyaan yang tepat untuk diajukan pada diri sendiri bukannya: "Kemampuan apa yang aku miliki yang bermanfaat?" melainkan "Bagaimana aku akan menggunakan kemampuan apa pun yang aku miliki?" Dengan kesadaran dan kesungguhan untuk menekuni apa pun bakat kita itu, hasilnya hampir dipastikan akan maksimal.

Jumat, 17 April 2015

Gagak yang Kehausan

Di hari yang terik, seekor gagak yang kehausan melayang-layang di atas sebuah ladang luas sembari mencari air. Sudah terbang sekian lama, ia tak kunjung menemukan sumber air. Rasanya dahaganya sudah tak tertahankan lagi. Ia merasa sangat lemah, nyaris kehilangan semua harapan. Tiba-tiba, ia melihat sebuah kendi air di bawah pohon. Ia pun langsung terbang ke bawah untuk memeriksa apakah ada air di dalam kendi itu. Ternyata ada!

Gagak itu berusaha mendorong paruhnya ke dalam mulut kendi. Sayangnya, ia mendapati leher kendi itu terlalu sempit. Lalu, ia mencoba memiringkan kendi itu sehingga airnya bisa mengalir keluar, tapi ternyata kendi itu terlalu berat.

Sesaat lamanya si gagak berpikir keras. Mata kecilnya diedarkan ke sekitar. Ia melihat ada beberapa kerikil di dekatnya. Tiba-tiba pula muncul ide cemerlang di benaknya. Ia mulai menjumputi kerikil itu satu per satu dengan paruhnya, lalu menjatuhkannya ke dalam kendi. Semakin banyak kerikil yang masuk, batas permukaan air dalam kendi itu pun menaik hingga akhirnya si gagak berhasil meminumnya.

Rencananya berhasil!

Sahabat ,,,,,,,,,, 
Apa yang dilakukan gagak dalam cerita ini juga berlaku dalam hidup kita. Segala pencapaian dan prestasi, besar atau kecil, tak mungkin dapat dicapai tanpa adanya upaya berpikir dan kerja keras. Semua kesuksesan pastinya butuh proses yang tak mudah dan bahkan terkadang tak sebentar.


Namun, percayalah segala upaya berpikir menguras tenaga dan kerja keras membanting tulang itu nantinya akan mengarah pada hasil akhir yang luar biasa yang bahkan tak pernah kita kira sebelumnya.

Pak Budi dan Malaikat

Alkisah, diceritakan ada seorang laki-laki yang sudah berumur, Pak Budi namanya, sedang diantar oleh Malaikat Penjaga Surga. (ceritanya sudah di akherat ini)
Pak Budi bertanya, ”Maaf, mas, eh mbak malaikat, saya mau di antar kemana sih?”
Malaikat berkata dengan senyuman yang indah, “Wahai Pak Budi, Anda akan saya antar ke Surga, Pak. Dan Selamat anda mendapatkan Surga yang terbaik disisi-Nya”
”Eit, Tunggu dulu,...! Jujur, saya bahagia mendengar kabar dari anda Kat! Tapi mungkin anda salah antar nih.... perasaan amal saya biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa. Apa saya pantas masuk surga yang terbaik?” tanya Pak Budi.
”Wah, bapak ini lucu, masak Tuhan kok salah tunjuk?..., dan saya kan Malaikat, ga mungkinlah saya salah antar.” jawab Malaikat ringan
”O ya, benar-benar. Tapi sebelum sampai di Surga, saya mau bertanya kepada anda Kat...Amal apa yang pernah saya lakukan sehingga saya masuk surga itu..?”
 ”Menurut data dari rekan Malaikat Pencatat Amal Anda, selain ibadah wajib yang anda lakukan setiap hari dengan ikhlas. Ada satu amalan yang memiliki point yang banyak sekali.”
”Wah-wah, opo itu Kat?”
”Sedekah harta!” jawab malakat dengan tegas.
”He he...” pak budi nyengir
 ”Kenapa anda ketawa?”
”Gini Kat..., maaf ya, saya yakin kali ini anda salah antar. Mungkin ada Pak Budi lainnya. Kamu tau ndak, bahwa saya ini orang miskin, ga punya harta. Untuk makan aja sulit. Harta dari mana untuk sedekah?... dari logika saja ga nyambung. Iya tho?”
 ”Mungkin anda telah lupa, suatu ketika Pak Budi pernah bertemu seorang yang sedang kelaparan di jalan. Dan Pak Budi membantunya dengan memberikan uang untuk makan dan transport pulang kerumahnya. Benar?”
 ”O.. ya, saya ingat itu.., perasaan cuma sama dia saja saya sedekah, karena dia jauh lebih membutuhkan uang itu.”
”Tahukah, siapa orang itu?. Dia adalah seorang yang kaya raya, pemimpin ratusan perusahaan di dunia. Kebetulan dia dirampok ketika dijalan, sehingga mobil dan hartanya hilang semua. dan Pak Budi menolongnya. Sejak saat itu, dia jadi terinspirasi untuk menyedekahkan 80 % dari penghasilannya untuk orang yang membutuhkan. Tidak cuma itu, dia memotivasi kepada puluhan ribu karyawannya untuk bersedekah. Dan tanpa sadar, berbondong-bondong orang kaya ikut bersedekah karena terinpirasi oleh motivasinya.”
”Lalu apa hubungannya dengan saya. Kan beliau yang bersedekah banyak.?”
”Tuhan Maha Adil, segala amalan orang tersebut, adalah karena terinpirasi akan keikhlasan Bapak dalam bersedekah. Maka, amalan orang tersebut, juga amalan bapak. Jadi silahkan, anda akan saya antar ke Surga, dan akan saya ketemukan dengan orang yang pernah bapak tolong tersebut” ajak Malaikat. Seketika itu juga, mata Pak Budi deras melelehkan air mata, dan berterimakasih kepada Tuhannya, dia merasakan keagungan-Nya dan keadilan-Nya... ~~~

Sahabat, memang cerita di atas cuma sekedar cerita karangan . Tapi, ada suatu kebenaran dari cerita tersebut, yakni salah satu amalan yang tidak akan terputus, walau kita sudah meninggal, yakni, sebuah ilmu yang bermanfaat.

Yakinlah, anda telah menjadi jalan, sehingga mereka menjadi lebih baik. Dan tentunya amalan mereka, Insya Allah, juga amalan anda. Jadi jangan kaget, ketika suatu saat ketika anda diakherat, ada kiriman paket berton-ton pahala, karena suatu amalan kecil, dan tulus anda....


Mangkuk Yang Cacat

Alkisah, ada seorang anak muda pergi ke sebuah toko untuk membeli sebuah mangkuk. Sesampainya di toko, dia mengambil sebuah mangkuk dan kemudian dengan lembut membenturkannya dengan mangkuk yang lainnya. Ketika kedua mangkuk itu saling bersentuhan, terdengar suara yang sumbang. Ia mengulangi menyentuhkan mangkuk di tangannya berulang kali ke mangkuk-mangkuk lainnya. Hasilnya sama, perpaduan suara yang terdengar sumbang di telinga. Dengan kecewa dia mencari pemilik toko dan menyampaikan kekecewaannya sambil meletakkan mangkuk itu ke tempat semula.

Pemilik toko dengan sabar bertanya, “Anak muda, untuk apa membenturkan mangkuk itu dengan mangkuk yang lain?”

Si Pemuda menjawab, “ Saya diajarkan oleh sesepuh, ketika sebuah mangkuk dibenturkan dengan lembut ke mangkuk yang lain dan mengeluarkan suara yang jernih dan merdu maka itu barulah sebuah mangkuk yang bagus dan pantas dibeli."

Setelah mengamati mangkuk yang tadi dipegang si anak muda, sambil tersenyum pemilik toko mengambil mangkuk yang lain dan memberikannya kepada si pemuda, “Ambillah mangkuk ini dan cobalah sekali lagi benturkan dengan mangkuk yang lain, pasti kamu akan menemukan mangkuk yang kamu sukai."

Setengah percaya, si pemuda melakukan apa yang diminta. Aneh! Semua mangkuk yang ia benturkan mengeluarkan suara yang jernih. Ia tidak mengerti mengapa hal itu tersebut bisa terjadi.

Pemilik toko tertawa melihat roman muka heran si pemuda, “Hahaha....jangan terlalu merasa aneh.. sebenarnya alasannya sangat sederhana.  Mangkuk yang kamu ambil tadi adalah mangkuk yang cacat. Maka ketika kamu benturkan dengan mangkuk yang lain, yang mana pun, pasti mengeluarkan suara yang sumbang. Maka pastikan dulu mangkuk yang ada di tanganmu adalah mangkuk yang bagus, tidak cacat untuk mengukur mangkuk yang lain cacat atau tidak."

Setiap manusia memiliki sebuah mangkuk di dalam diri yakni jiwa, hati dan pikiran. Jika mangkuk itu berisi kemurahan hati, kebaikan, ketulusan, kejujuran dan hal-hal positif lainnya, maka saat berbenturan dengan mangkuk yang tidak cacat, maka akan memunculkan ‘suara’ yang jernih dan merdu. Diantara mereka akan timbul kepercayaan, tidak saling menyakiti, rendah hati dan saling menghormati. Sebaliknya, jika mangkuk itu cacat, dengan sendirinya suara sumbang akan terjadi berupa rasa iri, dengki, benci, curiga dan mental negatif lainnya.

Mari penuhi mangkuk hati kita dengan hal-hal positif, yang pasti akan membawa hasil positif juga kelak di kemudian hari.

Anak Kunci

Ada sebuah pepatah bijak kuno yang berbunyi, "Anak kunci terakhir biasanya yang membuka pintu".
Jika Anda memegang rencengan anak kunci sebuah rumah dengan banyak kamar yang baru saja Anda beli, dan tentu Anda tidak tahu manakah kunci yang tepat untuk membuka rumah Anda, Anda pasti terpaksa mencoba setiap anak kunci tersebut. Lalu, kenapa Anda mau repot-repot berusaha mencari anak kunci yang tepat dengan mencobanya satu per satu? Karena rumah itu telah Anda beli dan menjadi milik Anda. Untuk dapat memanfaatkan semua ruangan di rumah itu dengan maksimal, Anda harus bisa mencoba setiap kunci untuk setiap ruangan.

Dalam hidup ini, masing-masing kita seolah memegang satu rencengan anak kunci. Disadari atau tidak disadari, hidup ini menawarkan banyak "ruang kesempatan" yang harus kita buka satu per satu. Tugas kita sesungguhnya adalah mencoba membuka setiap pintu itu dengan banyaknya pilihan anak kunci yang tergenggam di tangan kita. Orang yang cepat berputus asa umumnya adalah mereka yang tidak tahan uji dan tidak mau membuang waktu dan tenaga mereka untuk mencoba setiap anak kunci untuk membuka setiap pintu yang ada. Mereka malah lebih memilih untuk meninggalkan "rumah impiannya yang megah" itu dan merasa cukup dengan "menggelar tenda" saja daripada memiliki "rumah impiannya". Tapi di kemudian hari, mereka tercengang begitu melihat banyak orang yang ternyata bisa memiliki "rumah impiannya masing-masing".
  
Bayangkan jika setiap orang sadar betul bahwa dirinya sebenarnya SUDAH memiliki apa pun yang diimpikannya. Tugasnya hanya satu, yaitu tak pernah menyerah untuk selalu mencoba dengan gigih setiap anak kunci yang diberikan-Nya hingga semua pintu bisa terbuka. Kehidupan telah memilah-milah. Sebagian akan memilih untuk berusaha keras dengan gigih dan bersemangat menemukan anak kunci yang tepat dan memiliki sepenuhnya rumah impiannya itu. Tapi, sebagian lagi hanya akan menggerutu dan terus menggerutu, bahkan membuang "satu renceng anak kunci" kesempatan dan lebih memilih untuk "menggelar tendanya sendiri".


Pelajaran Tentang Tata Krama

Suatu pagi, terlihat seorang wanita berpenampilan menarik berusia 40-an membawa anaknya memasuki area perkantoran sebuah perusahaan terkenal. Karena masih sepi, mereka pun duduk di taman samping gedung untuk sarapan sambil menikmari hamparan hijau nan asri.

Selesai makan, dengan santai si wanita membuang sembarangan tisu bekas pakai. Tidak jauh dari situ, ada seorang kakek tua berpakaian sederhana memegang gunting untuk memotong ranting. Dengan diam, kakek itu menghampiri, memungut sampah tisu dan membuangnya ke tempat sampah.

Beberapa waktu kemudian, kembali wanita itu membuang bekas makanan tanpa rasa sungkan. Kakek itu pun dengan sabar memungut dan membuangnya ke tempat sampah.

Sambil menunjuk ke arah sang kakek, si wanita itu lantang berkata ke anaknya,”Nak, kamu lihat kan, jika tidak sekolah dengan benar, nanti masa depan kamu cuma seperti kakek itu. Kerjanya mungutin dan buang sampah! Kotor, kasar, dan rendah seperti dia. Jelas, ya?”

Si kakek meletakkan gunting dan menyapa ke wanita itu, “Permisi, ini adalah taman pribadi, bagaimana Anda bisa masuk ke sini?”

Wanita itu dengan sombong menjawab, “Aku adalah calon manager yang dipanggil oleh perusahaan ini.”

Di waktu yang bersamaan, seorang pria dengan sikap sopan dan hormat menghampiri sambil berkata,”Pak Presdir, mau mengingatkan saja, rapat sebentar lagi akan segera dimulai.”

Sang kakek mengangguk. Lalu sambil mengarahkan matanya ke wanita di situ, dia berkata tegas, “Manager, tolong untuk wanita ini, saya usulkan tidak cocok untuk mengisi posisi apa pun di perusahaan ini.” Sambil melirik ke arah si wanita, si manager menjawab cepat, “Baik Pak Presdir, kami segera atur sesuai perintah Bapak.”

Setelah itu, sambil berjongkok, sang kakek mengulurkan tangan membelai kepala si anak yang dari tadi memperhatikannya. “Nak, di dunia ini, yang penting adalah belajar untuk menghormati setiap orang, siapa pun dia, entah direktur atau tukang sampah dan menghargai hasil kerja mereka. Ngerti, ya?”

Si wanita terbelalak dangan wajah nyaris merah padam karena malu. Ternyata presiden direktur perusahaan yang sangat terkenal itu begitu rendah hati dan santun. Tetapi sayang, dia telah memperlakukan dengan hina layaknya tukang sampah hanya karena penampilan luarnya yang sederhana. Dengan tertunduk lesu, dia harus menerima keputusan Presdir perusahaan itu, karena kesalahannya sendiri.

Sahabat………
Menghargai orang janganlah dilihat dari penampilan luar atau tinggi rendahnya posisi seseorang. Pribadi unggul bukan karena kepintaran matematis tetapi lebih karena kemampuan berkomunikasi dengan menjujung tinggi etika moral dalam bergaul dengan siapa saja. Karena sejatinya, menghargai orang lain adalah juga menghargai diri kita sendiri, cerminan bahwa siapa diri kita sesungguhnya.
ak pernah tahu bahwa dia telah menyakiti hati kita, sungguh ketidakbahagiaan yang sia-sia.

Memang benar.... bila setiap kesalahan orang kepada kita, kita tuliskan di atas pasir, bahkan di udara, segera berlalu bersama tiupan angin, sehingga kita tidak perlu kehilangan setiap kesempatan untuk berbahagia.
Sebaliknya.. tidak melupakan orang yang pernah menolong kita, seperti tulisan yang terukir di batu karang. Yang tidak akan pernah hilang untuk kita kenang selamanya.


Tulisan Diatas Pasir

Di pesisir sebuah pantai, tampak dua anak sedang berlari-larian, bercanda dan bermain dengan riang gembira. Tiba-tiba, terdengar pertengkaran sengit di antara mereka, salah seorang anak yang bertubuh lebih besar memukul temannya sehingga wajahnya menjadi biru lebam. Anak yang dipukul seketika diam terpaku. Lalu, dengan mata berkaca-kaca dan raut muka marah menahan sakit, tanpa berbicara sepatah katapun, dia menulis dengan sebatang tongkat di atas pasir: "Hari ini temanku telah memukul aku !!!"

Teman yang lebih besar merasa tidak enak, tersipu malu tetapi tidak pula berkata apa-apa. Setelah berdiam-diaman beberapa saat, ya ..dasar-anak-anak, mereka segera kembali bermain bersama. Saat lari berkejaran, karena tidak berhati-hati, Tiba-tiba, anak yang dipukul tadi terjerumus ke dalam lobang perangkap yang dipakai menangkap binatang.
"Aduh.... Tolong....Tolong!" ia berteriak kaget minta tolong. Temannya segera menengok ke dalam lobang dan berseru "Kamu terluka? Jangan takut, tunggu sebentar, aku akan segera mencari tali untuk menolongmu".
Bergegas anak itu berlari mencari tali. Saat dia kembali, dia berteriak lagi menenangkan sambil mengikatkan tali ke sebatang pohon "Teman, Aku sudah datang! Talinya akan kuikat ke pohon, sisanya akan kulemparkan ke kamu, tangkap dan ikatkan dipinggangmu, pegang erat-erat, aku akan menarikmu keluar dari lubang".
Dengan susah payah, akhirnya teman kecil itupun berhasil dikeluarkan dari lubang dengan selamat. Sekali lagi, dengan mata berkaca-kaca, dia berkata, "Terima kasih, sobat!" Kemudian, dia bergegas berlari mencari sebuah batu karang dan berusaha menulis di atas batu itu "Hari ini, temanku telah menyelamatkan aku".

Temannya yang diam-diam mengikuti dari belakang bertanya keheranan, "Mengapa setelah aku memukulmu, kamu menulis di atas pasir dan setelah aku menyelamatkanmu, kamu menulis di atas batu?" Anak yang di pukul itu menjawab sabar, "Setelah kamu memukul, aku menulis di atas pasir karena kemarahan dan kebencianku terhadap perbuatan buruk yang kamu perbuat, ingin segera aku hapus, seperti tulisan di atas pasir yang akan segera terhapus bersama tiupan angin dan sapuan ombak.
Tapi ketika kamu menyelamatkan aku, aku menulis di atas batu, karena perbuatan baikmu itu pantas dikenang dan akan terpatri selamanya di dalam hatiku. Sekali lagi, terima kasih sobat".


Sahabat……………..
Hidup dengan memikul beban kebencian, kemarahan dan dendam, sungguh melelahkan. Apalagi bila orang yang kita benci itu tidak sengaja melakukan bahkan mungkin tidak pernah tahu bahwa dia telah menyakiti hati kita, sungguh ketidakbahagiaan yang sia-sia.

Memang benar.... bila setiap kesalahan orang kepada kita, kita tuliskan di atas pasir, bahkan di udara, segera berlalu bersama tiupan angin, sehingga kita tidak perlu kehilangan setiap kesempatan untuk berbahagia.
Sebaliknya.. tidak melupakan orang yang pernah menolong kita, seperti tulisan yang terukir di batu karang. Yang tidak akan pernah hilang untuk kita kenang selamanya.